Berapa, misalnya, keuntungan produser Habibie & Ainun dan produser Sang Pialang? Kami membuat hitung-hitungannya.
MENENGOK bioskop akhir-akhir ini boleh dikatakan film nasional tengah menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Sepanjang Desember 2012 dan Januari 2013, ada dua film nasional yang ditonton lebih dari dua juta penonton. Menurut catatan filmindonesia.or.id yang saya cek, Rabu (30/1), film 5 cm. ditonton 2.352.983 orang dan Habibie & Ainun ditonton 3.897.273 orang.
Hingga saat saya menulis artikel ini, Habibie & Ainun masih tayang di bioskop. Saya mengasumsikan penontonnya sudah mencapai 4 juta.
Lantas, jika penonton bioskop mencapai 4 juta berapa kira-kira yang dihasilkan produser dari film tersebut?
Mari berhitung. Tiket bioskop yang kita bayar untuk nonton sebuah film dibagi ke dalam tiga pos. Pemerintah mendapat 20 persen dari pajak tontonan; pemilik bioskop yang menayangkan film mendapat 40 persen; sedang produser yang sudah banting tulang bikin film dan memasarkannya juga mendapat jatah 40 persen.
Tiket bioskop berbeda-beda, tergantung lokasi dan waktu tayang (harga tiket akhir pekan lebih mahal dari hari biasa, misalnya). Tapi, jika dirata-rata produser mendapat Rp 10 ribu dari setiap tiket bioskop yang terjual. Sisanya untuk pajak dan pemilik bioskop sesuai hitungan di atas. (sebagai gambaran lain, situs filmindonesia.or.id membuat asumsi rata-rata perhitungan pendapatan kotor sebuah film pada 2012 adalah Rp 22 ribu/penonton. Angka itu kemudian dibagi dengan formula 20-40-40.)
Maka, jika dikatakan Habibie & Ainun ditonton 4 juta orang, kalikan saja dengan 10 ribu. Hasilnya Rp 40 miliar. Ya, kira-kira sejumlah itulah yang didapat MD Pictures milik Manoj Punjabi dari Habibie & Ainun.
Penghasilan itu bakal ditambah lagi dari hak siar ke TV dan DVD/VCD. Angkanya beda-beda. Tergantung dengan kualitas produknya.
Menurut kebiasaan saat ini, gerilya menjual hak siar ke TV sudah dilakukan sebelum filmnya tayang di bioskop. Seorang kawan malah bilang, cukup bawa sinopsis dan bilang artisnya si A dan si B, stasiun TV langsung mau dan jadi media partner eksklusif.
Angka yang didapat dari TV bervariasi. Kalau filmnya dianggap bagus, bisa dijual hingga Rp 1 miliar atau lebih. Tapi bisa pula hanya laku Rp 500 juta. Angka itu tak berwujud uang semua. Biasanya, sekitar 30 persen dari angka itu berupa barter iklan.
Jadi, saat filmnya tayang di bioskop stasiun TV bakal memutar iklan trailer filmnya yang jika dinominal-uangkan senilai 30 persen dari hak siar yang dibeli. O ya, pemerintah juga berhak memungut pajak pertambahan nilai (PPN) sebanyak 10 persen.
Kemudian dari hak edar DVD/VCD angkanya juga bervariasi. Bisa di atas Rp 500 juta hingga “hanya” Rp 250 juta. Angka itu juga dipotong pajak PPN sebanyak 10 persen.
Jadi, jika membuat hitungan kasar dari Habibie & Ainun didapat hasil begini: Rp 40 miliar dari bioskop; Rp 1 miliar dari TV; dan Rp 500 juta dari DVD/VCD. Totalnya, produser dapat Rp 41,5 miliar. Jika kita berasumsi Habibie & Ainun dibuat sampai Rp 10 miliar, produser masih untung Rp 31,5 miliar.
Itu kalau penonton filmnya sampai jutaan orang—yang hingga kini terbilang jarang bagi jagat film nasional. Bagaimana film lain yang ditonton tak sampai 20 ribu orang misalnya.
Hitungannya sama saja. Kritikus film Eric Sasono pernah menyuguhkan tabel sebuah film produksi Miles Films yang berbujet Rp 3,5 miliar. Film tersebut (di artikel Eric hanya disebut “Produksi B”) mendapat pendapatan bersih dari bioskop, hak siar TV, dan DVD/VCD (setelah dipotong bioskop dan segala macam pajak) sebanyak Rp 1,1 miliar. Di produksi film tersebut Miles Films rugi Rp 2,3 miliar.
Anda ingin coba mempraktekkan hitung-hitungan di atas pada film Indonesia relatif baru dan ditonton sedikit belasan ribu orang saja. Baiklah, ambillah contoh film Sang Pialang. Dari data filmindonesia.or.id, filmnya ditonton 15 ribu orang (data dilihat 30/1/2013). Kalikan saja dengan 10 ribu. Hasilnya produser hanya dapat Rp 150 juta dari bioskop.
Misalkan dari TV dan DVD/VCD filmnya mendapat tambahan Rp 500 juta plus Rp 250 juta, totalnya produser dapat Rp 900 juta. Jika bujet filmnya Rp 2 miliar, produser rugi satu miliar lebih. Jika bujetnya hanya satu miliar, masih rugi sekitar Rp 100 juta. Tambahan info juga, beberapa tahun lalu, dengan rata-rata bujet film Rp 2-3 miliar, produser masih bisa mengharap mendapat penonton sebanyak 300 ribu agar bisa balik modal dan sedikit untung.
Sekarang, situasinya beda. Seminggu bisa dua film Indonesia baru rilis. Artinya, persaingan makin ketat. Belum lagi rilis juga satu-dua film Hollywood baru saban pekan. Umur sebuah film Indonesia bisa sangat pendek bila di pekan pertama langsung kalah saing dengan film-film lain. (Harap diingat, di negeri ini belum ada hukum yang mewajibkan film nasional diberi hak putar minimal di bioskop [misalnya, dua minggu entah untung atau rugi]. Jadi pihak bioskop berhak menurunkan film yang penontonnya sedikit untuk memberi ruang bagi film baru. Di lain pihak juga, bila sebuah film laris bioskop sesuka hati memutar terus sebuah film sampai penontonnya sedikit.)
Menyiasati situasi ini, kata seorang kawan yang produser film, kecenderungan produser film Indonesia membuat film setidaknya Rp 2 miliar (angka standar untuk menghasilkan produk yang baik menurut standar film Indonesia). Dengan bujet itu, produser berharap filmnya mendapat setidaknya 100 ribu penonton agar masih bisa untung.
Begitulah kira-kira hitung-hitungan yang didapat produser film. Apa ada di antara pembaca budiman ingin jadi produser film?
SUMBER dan BAHAN BACAAN* Ichwan Persada, produser film, di antaranya Orenji rilis tahun ini, membantu saya menjadi nara sumber artikel ini.
* Eric Sasono, “Dua Tahun Transisi Perfilman Indonesia, Catatan untuk Tahun 2005-2007” dimuat dalam JB Kristanto, Katalog Film Indonesia 1926-2007, Penerbit Nalar, Jakarta, 2007.
* Saya pernah menulis artikel “Apa Artinya Cinta? Memecahkan Rekor dalam Biaya Produksi” di Tabloid Bintang Indonesia, edisi 760, Tahun ke XV, Minggu Kedua November 2005.
UPDATE, Rabu, 30 Januari 2013, pukul 19.00 WIB: Tak lama artikel ini naik, Ichwan Persada, produser film yang jadi nara sumber artikel ini mengirim pesan merevisi asumsi angka-angka yang saya buat di atas. Katanya, saat ini rasanya terlalu tinggi angka Rp 500 juta hak edar home video (DVD/VCD). Tapi yang mendapat royalti miliaran ada. Sistem kontrak kerja sama produser dengan pengedar home video macam-macam. Ada yang flat, ada yang royalti. Angka Rp 500 juta dan Rp 250 juta saya kutip dari artikel Ecic Sasono (2007). Menurut Ichwan, lima tahun lalu, distributor home video mungkin berani bayar sejumlah itu. Sekarang, dapat Rp 150 juta dari home video saja sudah bagus sekali. Kemudian, TV tak cuma dapat hak siar memutar film dua kali (istilahnya first run). Bisa juga diputar berkali-kali jika ratingnya bagus. Ichwan memberi contoh. Milli & Nathan serta Catatan Akhir Sekolah terbilang rugi saat tayang di bioskop. Tapi dapat penghasilan lumayan dari tayangan di TV. Selain itu pula, saat ini produser mencari penghasilan alternatif lain. Misalnya pemutaran keliling (non-bioskop) dengan menggandeng sponsor tertentu. Dari pemutaran keliling, produser bisa menambah penghasilan Rp 50 juta.
Sumber: Plasa.MSN.com